RAMADHAN memberi banyak berkah bagi seorang mubalik atau ustadz.
Ramadhan adalah momentum bagi mereka untuk berbagi ilmu dan amal. Tetapi
benarkah bukan sekadar itu? Namun juga profit?
Profesi seorang ustadz atau penceramah tak bisa lagi dipandang sebelah
mata. Faktanya, banyak ustadz yang kini hidup lebih layak. Menikmati
fasilitas yang serba wah, serta dekat dengan sumbu-sumbu kekuasaan.
Para ustadz hanya butuh popularitas untuk meraih segala-galanya. Setelah
menyandang nama besar, seorang ustadz akan kebanjiran order ceramah
dari mana-mana, dengan tarif selangit.
Bulan Ramadhan, adalah bulan panen bagi para rohaniawan ini. Di
Makassar, jadwal ceramah para ustadz telah diinventarisasi secara resmi
oleh pihak Masjid Al Markaz Al Islami. Sehingga setiap ustadz yang
terdaftar resmi di bawah kepengurusan Masjid Al Markaz, sudah
mendapatkan skedul sebulan penuh, yang disebar di seluruh masjid.
Hanya saja, dalam pembagian jadwal, level ustadz juga menentukan di
masjid-masjid mana mereka akan ditempatkan. Secara tidak langsung,
pengurus membuat pengelompokan ustadz berdasarkan kapasitas, kompetensi
dan popularitas.
Untuk masjid-masjid besar sekelas Al Markaz Al Islami, Masjid Raya,
Masjid HM Asyik dan beberapa masjid besar lainnya, hanya diisi oleh
ustadz-ustadz berkaliber A. Berstatus profesor atau mubalik bergelar Lc
jebolan Mesir dan Madinah.
Ini adalah ustadz kelompok A atau yang dengan level tertinggi. Pun
mereka mematok tarif yang tentu lebih besar. Di Al Markaz misalnya,
ustadz yang berceramah hanya didominasi oleh ulama-ulama besar Sulsel,
atau ustadz dari kalangan akademisi bergelar doktor atau profesor,
dengan tarif Rp 500 ribu sekali tampil.
Untuk tampil di Al Markaz atau Masjid Raya, faktor senioritas juga
menentukan. Meskipun jebolan Mesir atau Madinah, mereka cenderung
dikesampingkan karena di dua masjid besar itu memang telah menjadi kuota
tetap para penceramah senior.
Untuk masjid B atau sedang, diisi oleh penceramah berlevel kelas dua.
Mereka adalah ustadz muda yang biasanya namanya mulai meroket. Mereka
ditarif antara Rp 200 hingga Rp 250 ribu per sekali tampil.
Untuk masjid tipe C atau kecil, yang berada di permukiman pinggiran,
hanya diisi oleh penceramah pemula. Bahkan tak jarang hanya diberi jatah
ustadz karbitan yang sebenarnya belum pantas untuk memberi tauziyah.
Pun bayaran untuk mereka disesuaikan dengan kemampuan keuangan masjid. Dari Rp 75 ribu hingga Rp 100 ribu.
Yang pasti di semua level ini tak ada yang gratisan. Sekecil apapun
masjidnya, pengurus tetap diwajibkan menyiapkan dana untuk penceramah.
Oleh sebagian pengurus masjid, ini sebenarnya tidak memberatkan, hanya
saja yang kerap dikeluhkan karena setiap tahun ada kenaikan tarif yang
kadangkala sulit dipenuhi.
Apalagi di bulan Ramadhan, mereka harus siap antara Rp 2,5 juta hingga
Rp 3 juta, hanya untuk membayar penceramah. Ini belum termasuk
penceramah subuh yang tarifnya sama dengan ceramah tarwih.
Jika dalam semalam di kedua waktu ini harus diisi dengan ceramah,
praktis pengurus harus menyiapkan dana dua kali lipat atau sekitar Rp 6
juta.
"Tahun lalu masih ada yang Rp 50 ribu. Sekarang tidak ada lagi, minimal
Rp 100 ribu. Kalau Rp 50 ribu kadangkala penceramahnya malas datang,"
kata seorang jamaah masjid di Kompleks Bumi Tamalanrea Permai.
Sementara di masjid-masjid kompleks hanya mengandalkan sumbangan dari
warga setempat. Berbeda dengan masjid-masjid yang berada di pinggir
jalan, yang banyak disinggahi jamaah, memiliki pundi-pundi sumbangan
dari berbagai sumber.
"Kalau di kompleks seperti kami ya, cuma warga sekitar to saja, tidak
ada orang dari luar yang salat. Jadi sumbernya dari warga setempat
saja," ucapnya.
Sejumlah jamaah di beberapa masjid kecil juga mengeluhkan kualitas
penceramah yang disebar ke masjid-masjid kecil. Menurut mereka, hampir
semuanya masih pemula dan isi ceramahnya sama sekali tak berkualitas.
Akhirnya, para jamaah juga tidak termotivasi untuk datang berjamaah
tarwih. "Salah satu yang mendorong orang datang salat tarwih karena
ceramahnya. Tapi kalau penceramahnya tidak berkualitas, tentu jamaah
juga malas," ucap Ny Suci, warga Jalan Perintis Kemerdekaan.
Menurut Ny Suci, semestinya tidak dilakukan pengelompokan dalam
pembagian jatah ceramah di masjid-masjid. Masjid besar dan kecil harus
dipandang sama. Artinya, semuanya diberi kesempatan untuk mendapatkan
siraman rohani dari ustadz-ustadz senior yang lebih berkualitas.
"Jadi jangan karena tarifnya tinggi, lantas kemudian tidak diberikan ke
masjid kecil. Hanya ke masjid besar saja. Itu saya rasa persepsi yang
keliru dan tidak mendidik. Ini malah membuat para penceramah makin jual
mahal. Semakin tidak mau ceramah ke masjid kecil karena tarifnya
rendah," ketus Ny Suci.
Senada dengannya, remaja masjid Biringkanaya, Ahmad Dahlan, mengatakan,
kesalahan yang dibuat panitia pembuat skedul karena mengelompokkan
penceramah berdasarkan kualitas dan popularitasnya. Akibatnya,
masjid-masjid yang ada di pinggiran kota, selamanya hanya mendapat jatah
ustadz pemula yang tidak berkualitas.
"Mesti berlaku sebaliknya, orang yang dipinggiran kota harus dapat
ustadz yang berkualitas. Selanjutnya, si ustadz jangan pasang tarif.
Inikan ibadah, saya rasa sangat berdosa kalau ada pasang-pasang tarif
seperti itu," ucapnya.
Tetapi itulah faktanya bahwa hampir tidak ada penceramah senior yang
setuju kalau diberi jatah masjid kecil. Rata-rata mereka protes, karena
dipandang tidak selevel dengan kualitas diri yang mereka miliki.
Menurut Ramli, seorang pengurus masjid di Sudiang, banyak ustadz yang
jika Ramadhan datang hanya menghitung profit, berapa penghasilan dari
hasil ceramahnya sebulan. Bukan menakar kualitas ilmu yang bisa
bermanfaat untuk orang banyak.
"Ini tidak bisa dipungkiri. Buktinya, ada beberapa yang tidak mau
ceramah kalau tahu tarif di masjid itu rendah. Di masjid kami pernah
terjadi, kami kasih Rp 50 ribu waktu khotbah Jumat. Setelah itu nda mau
datang lagi. Kalau ada jadwalnya, dia berikan ke ustadz lain yang
pemula," paparnya.
Menurut Ramli, ini adalah pendidikan yang buruk bagi perkembangan Islam.
Apalagi, ini adalah masalah akhirat. Sangat tercela jika dinilai